
Ambon.Metro.Regional.id Guru Besar pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Pattimura Ambon, Prof, Dr Patris Rahabav, M.Si mengemukakan, sesuai usulan penempatan Ariteus Kundre, S.Pd pada sekolah lain, dalam jabatan sebagai kepala sekolah. Usulan itu dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan matang atas dan atau prosedur yang telah ditempuh baik berdasarkan hasil pemeriksaan maupun empat kali sidang kode etik.
“Dan ketika kali ke empat itu kemudian ada diskusi lagi dan dimutasi ke satu sekolah tetap jadi kepala sekolah, dia tetap menjadi Kepala’ itu rekomendasi terakhir dari Kode Erik Provinsi dari kami seperti itu tetap dia kepala sekolah tetapi tidak di SMA Negeri 10, “Ungkap Ketua Kode Etik Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku, Prof, Dr Patris Rahabav dan juga mantan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan FKIP Unpatti ini.
Proses pengusulan dipindahkannya Ariteus Kundre dilatarbelakangi oleh ketidakpatuhan terhadap nilai-nilai etika dan moral yang dilakukan yang bersangkutan pada masa lampau ketika belum menjabat sebagai Kepala Sekolah SMA negeri 10 Kepulauan Tanimbar (Saumlaki). Kondisi ini juga diperparah dengan kurangnya hubungan baik antara Kepsek dengan sekelompok kecil orang guru. Kelompok ini diduga kuat menjadi dalang dibalik kekisruhan dalil laporan, desakan dan atau kongsi usulan dipindahkannya Paulus Ariteus Kundre, S.Pd dari Kepsek SMA Negeri 10 Kepulauan Tanimbar (Saumlaki). Buntut dari sepak terjang kelompok yang tidak menginginkan Ariteus ini, maka ditindaklanjuti dengan proses penyelidikan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Maluku terhadap Ariteus Kundre, terhadap sepak terjangnya selama menjabat sebagai Kepsek SMA Negeri 10 Saumlaki.
Padahal jika ditelisik lebih jauh, pelanggaran kode etik dan moral yang dilakukan dan atau dituduhkan kepada Ariteus jauh sebelum menduduki Kepsek SMA Negeri 10. Kegigihan orangnya untuk memajukan pendidikan di Desa Sifnana dilatarbelakangi oleh kebijakan pendidikan yang tidak berpihak kepada masyarakat desa Sifnana kalau itu (masa lampau). Masyarakat desa inipun menghibahkan beberapa hektar tanah diperuntukan bagi pembangunan sekolah demi masa depan generasi muda anak-anak Desa Sifnana. Singkat cerita dari hibah itu dalam perjalanannya ada pihak-pihak tertentu berupaya dan berusaha untuk melakukan sabotase terhadap lahan dimaksud. Kondisi ini menjadikan Ariteus berjuang bersama kelompok kepentingan kemajuan pendidikan, mengurus sertifikat tanah dan atas nama pendidikan. Tujuan Ariteus dan kelompoknya adalah proses mengamankan lahan hibah dimaksud untuk kelanjutan pembangunan sarana infrastruktur sekolah. Perjuangan itu yang kemudian Ariteus harus menjadi tumbal dibalik kasus yang memanjarakan dirinya selama tiga tahun penahanan. Karena dituduh memerkosa anak dibawa umur. Kasus ini terjadi pada tahun 2006 dan menjalani hukuman hingga tahun 2009. Dia kemudian dikembalikan hak-haknya sebagai seorang pegawai negeri sipil dan dimasa kepemimpinan gubernur Ir Said Assegaff dan Kadisnya Saleh Thio, Ariteus menjabat sebagai Kepala Sekolah SMA Negeri 10 hingga Kepemimpinan gubernur Murad Ismail kasus ini kembali digulirkan. Alhasil Kundre terdepak.
Kendati begitu, dari temuan tim kode etik dinas pendidikan dan kebudayaan provinsi Maluku memberikan garansi dan kepercayaan kepadanya (Paulus Ariteus Kundre S.Pd tetap menjabat sebagai kepala sekolah tetapi bukan di SMA negeri 10.
Kendati demikian usulan ini nyatanya tidak sesuai SK yang diterbitkan oleh BKD Setda Provinsi Maluku. SK pindah yang diterima Kundre adalah sebagai guru biasa.
Guru Besar FKIP Universitas Pattimura Ambon, Prof Dr Patris Rahabav menduga, kalau telah terjadi Maladministrasi yang dilakukan oleh pihak GTK (guru dan tenaga kependidikan red) dan orang-orang di kantor gubernur Maluku.
“Paulus Ariteus Kundre, S.Pd dipindahkan itu jelas bahwa ada kesalahan dan ada kelemahan-kelemahan yang mendasar tetapi rekomendasi kami bahwa saudara Kundre dipindahkan tetapi masi dalam jabatan Kepala Sekolah, “tandas guru besar FKIP Unpatti ini. (***)